Mi lethek makanan khas Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, hampir punah, tetapi masih diminati konsumen lokal, dan bahkan wisatawan yang kebetulan sedang berkunjung ke Yogyakarta.
"Mi ini sudah semakin jarang dijumpai di pasar kuliner Bantul dan Yogyakarta, namun masih ada wisatawan domestik seperti dari Jakarta, dan Surabaya yang menyukai makanan tradisional ini," kata pembuat dan penjual mi lethek Nurul Istiqomah di arena Pameran Pangan Nusantara di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Rabu.
Selama ini, menurut dia mi lethek sering ikut pameran kuliner di berbagai kota di antaranya di Jakarta. "Saat pameran di Jakarta, pembeli mi ini cukup banyak dari kalangan anak muda hingga orang tua," katanya.
Ia mengatakan disebut mi lethek karena warnanya kusam dan kurang menarik. Warna mi lethek tidak seperti mi pada umumnya, karena dibuat dengan bahan baku yang berbeda dengan mi umumnya.
"'Lethek merupakan bahasa Jawa yang artinya kusam, kotor, dan kurang menarik," katanya. Bahan baku untuk membuat mi lethek berupa tepung tapioka yang diolah secara manual, dan tidak menggunakan pewarna kimia serta zat pengawet.
Menurut dia, rasa mi ini juga khas, berbeda dengan rasa mi pada umumnya. "Hanya dibuat dengan rasa pedas berupa mie goreng, dan dilengkapi sambal goreng," katanya. Cara penyajiannya, kata Nurul, masih tradisional dan sederhana. "Ketika dimakan, mi ini kenyal, dan ukuran mi sedikit lebih besar dibandingkan dengan mi pada umumnya," katanya.
Selama mengikuti pameran, menurut dia beberapa pengunjung ingin belajar cara membuat dan memasak mi ini. Ia menyebutkan harga mi lethek Rp 5.000 per porsi. "Selama pameran ini terjual rata-rata 100 porsi per hari," katanya.
"Mi ini sudah semakin jarang dijumpai di pasar kuliner Bantul dan Yogyakarta, namun masih ada wisatawan domestik seperti dari Jakarta, dan Surabaya yang menyukai makanan tradisional ini," kata pembuat dan penjual mi lethek Nurul Istiqomah di arena Pameran Pangan Nusantara di Jogja Expo Center, Yogyakarta, Rabu.
Selama ini, menurut dia mi lethek sering ikut pameran kuliner di berbagai kota di antaranya di Jakarta. "Saat pameran di Jakarta, pembeli mi ini cukup banyak dari kalangan anak muda hingga orang tua," katanya.
Ia mengatakan disebut mi lethek karena warnanya kusam dan kurang menarik. Warna mi lethek tidak seperti mi pada umumnya, karena dibuat dengan bahan baku yang berbeda dengan mi umumnya.
"'Lethek merupakan bahasa Jawa yang artinya kusam, kotor, dan kurang menarik," katanya. Bahan baku untuk membuat mi lethek berupa tepung tapioka yang diolah secara manual, dan tidak menggunakan pewarna kimia serta zat pengawet.
Menurut dia, rasa mi ini juga khas, berbeda dengan rasa mi pada umumnya. "Hanya dibuat dengan rasa pedas berupa mie goreng, dan dilengkapi sambal goreng," katanya. Cara penyajiannya, kata Nurul, masih tradisional dan sederhana. "Ketika dimakan, mi ini kenyal, dan ukuran mi sedikit lebih besar dibandingkan dengan mi pada umumnya," katanya.
Selama mengikuti pameran, menurut dia beberapa pengunjung ingin belajar cara membuat dan memasak mi ini. Ia menyebutkan harga mi lethek Rp 5.000 per porsi. "Selama pameran ini terjual rata-rata 100 porsi per hari," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar